KOMUNITAS BANDA atau oleh literatur Majapahit disebut sebagai Wandan cukup asing di telinga. Setidaknya hingga sebelum penulis jumpa dengan Kyai Karnusa Serang, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Prop. Maluku, pada kantor beliau di Tantui Atas, Nusaniwe, bulan Februari 2019 lalu.
Saat itu, di antara tema obrolan lainnya, Yai Karnusa –demikian beliau biasa dipanggil– mendadak menerangkan mengapa nama belakangnya menggunakan kata “Serang”. Bukankah itu nama suatu tempat di Jawa, tepatnya di Banten? Sebab, di Maluku ini ada dua jenis penggunaan nama belakang: nama marga dan nama asal tempat.
Karena nama Serang bukan merupakan nama marga, jelaslah itu merupakan nama tempat yang disematkan di belakang nama. Biasanya suku Buton di Maluku ini menggunakan cara ini. Selain kata La (laki-laki) dan Wa (perempuan) yang diletakkan di depan nama, pada nama belakang mereka juga biasanya berasal dari nama tempat.
Sejak itulah penulis mulai meneliti peristiwa ini. Beberapa tulisan mengenai Pulau Banda dilahap habis. Mulai ada titik terang hubungan antara Banda dan Banten sejak abad XVII itu. Ketika Batavia menjadi pusat Gubernur Jenderal VOC pada 1602, 19 tahun kemudian terjadilah peristiwa Banda.
Mengapa peristiwa ini memiliki nilai penting bagi penulis? Sejarawan mengatakan bahwa “historia est vitae magistra” (sejarah adalah guru dalam hidup). Namun, bagi penulis sendiri sejarah merupakan jatidiri. Dengan mengenal sejarah, maka kita akan mengenal jatidiri kita yang sebenarnya. Silsilah leluhur akan kita ketahui. Mengapa demikian?
Penulis memiliki ayah berasal dari keturunan Mataram Islam dan ibu dari Banten. Menurut kisahnya, keluarga dari pihak ibu sebenarnya bukanlah asli Banten. Namun, kata mereka, dari suatu daerah jauh di timur. Ratusan tahun lalu nenek moyang mereka tiba dan mendiami Banten. Kemudian pada masa pendudukan Jepang, keturunan mereka 12 bersaudara hijrah lagi ke Indramayu dari Banten dengan berjalan kaki.
MENGENAL GENOSIDA BANDA (WANDAN)
Banda pada Masa Awal
Ketika menulis mengenai wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit (1365), Mpu Rakai Prapanca dalam Kitab Kakawin Negarakertagama pupuh XIV bait 5 menyebutkan, bahwa dari delapan wilayah atau Hasta Mandala, kepulauan Maluku termasuk dalam Hasta VII. Mandala tersebut meliputi: Muar (Kei), Wandan (Banda), Ambwan (Ambon), Maloko (Ternate).
Mpu Prapanca menyebut Banda sebagai Wanda atau Wandan. Ini wajar, sebab dalam bahasa-bahasa tertentu terkadang mengalami perubahan bunyi (fonetik) huruf. Misalnya dari B menjadi W, B menjadi P, B menjadi V, B menjadi F dan sebagainya. Namun, apakah Wandan yang dimaksud adalah Banda yang sekarang sedang dibahas? Bisa kita telusuri juga dari kisah berikut ini.
Menurut Hikayat Tanah Lonthor, bahwa di Banda Besar kedatangan lima orang bangsawan. Mereka terdiri dari empat bangsawan laki-laki: Kakyai, Kelelaiy, Leleway dan Keleliang dan seorang bangsawan perempuan bernama Cilubintang. Bila dikaitkan dengan Babad Tanah Jawi, maka Cilubintang yang dimaksud adalah istri Raden Tanduran Raja Majapahit yang berasal dari Wandan (Banda).
Dari perkawinan yang disebut sebagai perkawinan politis ini lahirlah Bondan Kejawan. Kelak, Bondan Kejawan menikah dengan seorang “putri kahyangan” dan melahirkan seorang putra yang akan menjadi penguasa di Jawa yaitu Panjuwed. Dari perkawinan yang kedua, Ki Bondan memiliki seorang putra lagi yaitu Pamanahan. Panjuwed berkarya di Mataram, sedangkan Pamanahan di Pati.
Nama Banda juga disebutkan oleh beberapa penulis asing pada masa dulu. Tom Pires dan Antonio Galvao (1512-1515) dari Portugal menyebut nama Banda, baik bermakna tunggal maupun jamak. Tunggal untuk menyebut nama sebuah pulau yaitu Banda Besar, sedangkan jamak adalah merupakan nama untuk gugus kepulauan di Maluku.
Setelah Portugal, Belanda dan Inggris adalah dua negara yang juga pernah memperebutkan Banda. Pala dan fuli (bunga pala) menjadi daya tarik bangsa-bangsa asing tersebut. Bahkan Belanda bersedia menukar Manhattan dengan Pulau Rhun di Banda. Manhattan (Nieuw Amsterdam) diserahkan kepada Inggris, sedangkan Pulau Rhun menjadi milik Belanda. Ini adalah kesepakatan dalam Perjanjian Breda, 31 Juli 1667. Oleh sebab itu, tanpa Pulau Rhun atau Banda atau Maluku, maka tidak mungkin New York sekarang berbahasa Inggris!
Pembantaian di Banda (Genosida Wandan)
Kepulauan Banda –dalam arti jamak– didiami oleh sekitar 15 ribu jiwa, termasuk empat ribu jiwa “pria yang berperawakan tegap, bersenjatakan perisai dan pedang”. Menurut Tom Pires, etnis Banda awal “memiliki rambut panjang lurus” yang menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan orang Nusantara asli.
Pulau Banda sendiri –dalam arti tunggal– pada abad XVII itu hanya didiami oleh sekitar dua ribu orang, hampir seluruhnya muslim. Benteng pertahanan mereka lemah, bila tidak dikatakan tidak ada sama sekali. Dari sepuluh pulau disana, enam pulau berpenghuni, sisanya tidak didiami. Catatan VOC menyebutkan secara detil kondisi tiap pulau tersebut dari segi topografis, demografis dan ekonomis.